Senja dan Kenangan
Di suatu sore yang cerah, aku duduk termenung di atap rumah. Aku hanya duduk memandangi langit yang perlahan warnanya berubah jadi jingga. Sandikala senja memang menakjubkan bahkan untuk diriku yang selalu sendiri. Ahh, alangkah indahnya kalau aku bisa berbagai sore ini dengan orang lain.
Waktu terus berlalu dengan cepat, ku pandang ke luar jendala dan melihatnya. Sosok yang selama ini aku hindari. Tidak, aku tidak takut padanya hanya saja aku malu dan tidak punya keberanian untuk menyapanya.
Gadis itu tidak cantik, tidak juga imut, wajahnya selalu datar dan rambutnya yang panjang itu membuatnya sedikit menakutkan bagi sebagian orang. Tapi walaupun seperti itu bagiku, dia adalah seseorang yang spesial. Dia adalah orang yang dulu selalu ada di sampingku. Di saat aku senang maupun disaat aku merasa putus asa. Di suatu sore yang cerah, aku duduk termenung di atap rumah. Aku hanya duduk memandangi langit yang perlahan warnanya berubah jadi jingga. Sandikala senja memang menakjubkan bahkan untuk diriku yang selalu sendiri. Ahh, alangkah indahnya kalau aku bisa berbagai sore ini dengan orang lain.
Waktu terus berlalu dengan cepat, ku pandang ke luar jendala dan melihatnya. Sosok yang selama ini aku hindari. Tidak, aku tidak takut padanya hanya saja aku malu dan tidak punya keberanian untuk menyapanya.
Gadis itu tidak cantik, tidak juga imut, wajahnya selalu datar dan rambutnya yang panjang itu membuatnya sedikit menakutkan bagi sebagian orang.
Hanya saja, suatu hari, aku melakukan suatu kesalahan yang membuat hubunganku dengannya jadi rusak. Entahlah, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan setelah itu. Aku hanya diam dan menghindar serta tak mampu menatap wajahnya.
Detik berubah menjadi menit, menit berubah menjadi jam, jam berubah menjadi hari, hari berubah menjadi bulan dan bulan berubah menjadi tahun. Banyak saat aku lalui namun hasilnya tetap sama. Aku tetap tidak bisa, atau mungkin tidak mau, bertemu dengannya. Aku selalu melihatnya tiap saja dan mudah bagiku untuk menyapanya.
Tapi entah kenapa semua itu terasa berat bagiku. Aku bagai patung jika di hadapannya. Ingin rasanya aku tetap bersamanya namun aku sendiri pun bingung tentang apa yang aku rasa. Sejujurnya, aku lelah terus hidup seperti ini. Kalau saja aku tidak bodoh, mungkin aku akan terus bersamanya. Tertawa dengannya,berbagi cerita dengannya, jalan-jalan dengannya, atau mungkin menghabiskan kuota internetku dengan meneleponnya seharian. Ahh, senangnya kalau itu bisa terjadi.
Aku kembali menatap ke jendela itu. Dia masih berdiri disana tidak berpindah dari posisinya. Dia tersenyum, dia tertawa, dia menangis namun, aku tidak tau apa yang membuatnya seperti itu.
Mungkin, akulah yang harus bergerak. Akhirnya, aku turun dari atap dan menghampirinya. Saat aku mendekatinya, dia tersenyum bagai berkata "akhirnya kamu datang juga. Aku nungguin kamu lama banget loh". Tapi kenyataannya, di tidak bicara, hanya tersenyum.
Ketika melihat senyuman itu, dada ini terasa sangat sakit. Rasanya sesak. Aku senang namun di satu sisi, ini terasa menyakitkan. Aku pun memulai percakapan. Walaupun begitu aku belum siap mendengar kata-kata yang akan keluar dari bibir kecilnya itu Di suatu sore yang cerah, aku duduk termenung di atap rumah. Aku hanya duduk memandangi langit yang perlahan warnanya berubah jadi jingga. Sandikala senja memang menakjubkan bahkan untuk diriku yang selalu sendiri. Ahh, alangkah indahnya kalau aku bisa berbagai sore ini dengan orang lain.
Waktu terus berlalu dengan cepat, ku pandang ke luar jendala dan melihatnya. Sosok yang selama ini aku hindari. Tidak, aku tidak takut padanya hanya saja aku malu dan tidak punya keberanian untuk menyapanya.
Gadis itu tidak cantik, tidak juga imut, wajahnya selalu datar dan rambutnya yang panjang itu membuatnya sedikit menakutkan bagi sebagian orang. Tapi walaupun seperti itu bagiku, dia adalah seseorang yang spesial. Dia adalah orang yang dulu selalu ada di sampingku. Di saat aku senang maupun disaat aku merasa putus asa. Di suatu sore yang cerah, aku duduk termenung di atap rumah. Aku hanya duduk memandangi langit yang perlahan warnanya berubah jadi jingga. Sandikala senja memang menakjubkan bahkan untuk diriku yang selalu sendiri. Ahh, alangkah indahnya kalau aku bisa berbagai sore ini dengan orang lain.
Waktu terus berlalu dengan cepat, ku pandang ke luar jendala dan melihatnya. Sosok yang selama ini aku hindari. Tidak, aku tidak takut padanya hanya saja aku malu dan tidak punya keberanian untuk menyapanya.
Gadis itu tidak cantik, tidak juga imut, wajahnya selalu datar dan rambutnya yang panjang itu membuatnya sedikit menakutkan bagi sebagian orang.
Hanya saja, suatu hari, aku melakukan suatu kesalahan yang membuat hubunganku dengannya jadi rusak. Entahlah, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan setelah itu. Aku hanya diam dan menghindar serta tak mampu menatap wajahnya.
Detik berubah menjadi menit, menit berubah menjadi jam, jam berubah menjadi hari, hari berubah menjadi bulan dan bulan berubah menjadi tahun. Banyak saat aku lalui namun hasilnya tetap sama. Aku tetap tidak bisa, atau mungkin tidak mau, bertemu dengannya. Aku selalu melihatnya tiap saja dan mudah bagiku untuk menyapanya.
Tapi entah kenapa semua itu terasa berat bagiku. Aku bagai patung jika di hadapannya. Ingin rasanya aku tetap bersamanya namun aku sendiri pun bingung tentang apa yang aku rasa. Sejujurnya, aku lelah terus hidup seperti ini. Kalau saja aku tidak bodoh, mungkin aku akan terus bersamanya. Tertawa dengannya,berbagi cerita dengannya, jalan-jalan dengannya, atau mungkin menghabiskan kuota internetku dengan meneleponnya seharian. Ahh, senangnya kalau itu bisa terjadi.
Aku kembali menatap ke jendela itu. Dia masih berdiri disana tidak berpindah dari posisinya. Dia tersenyum, dia tertawa, dia menangis namun, aku tidak tau apa yang membuatnya seperti itu.
Mungkin, akulah yang harus bergerak. Akhirnya, aku turun dari atap dan menghampirinya. Saat aku mendekatinya, dia tersenyum bagai berkata "akhirnya kamu datang juga. Aku nungguin kamu lama banget loh". Tapi kenyataannya, di tidak bicara, hanya tersenyum.
"Lama ngga ketemu ya..," aku bicara begitu sambil terkekeh malu. "Ya.. sebenernya, aku sih yang takut buat nyapa duluan. Tapi kali ini ngga ada salahnya deh buat lawan rasa takut itu."
Dia melihatku dan tertawa. "Kamu siapa?" Tanyanya sambil menunjuk ke arahku.
"Ahh, iya. Aku baru inget. Hmm.. apa kita harus kenalan lagi kayak dulu?" tanyaku.
"Seperti dulu? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Ucapnya sambil sedikit menjauh dariku.
Ah, ini lah yang aku takutkan ketika aku harus kembali menyapanya. Aku tidak takut dengan sesuatu yang baru hanya saja..
"Iya pernah.. kita dulu satu SMP, ingat? Waktu kamu makan siang bareng aku di tangga sekolah SMP, ingat?"
"SMP? Apa kita pernah? Aku, tidak ingat."
Aku mengangguk. "Iya, pernah. Tapi begini saja deh. Anggap kita baru kenal hari ini, sudikah kiranya aku tahu namamu dan dimana rumahmu? Ahh tinggal perlu alamat rumahmu. Sudikah kiranya aku tahu siapa namamu dan nomor handphone-mu?"
"Aku adalah........."
0
Senja dan Kenangan
0
Writers
Publish Date
12/23/2022
0 Comment
Log in to add comment